Lahangambut di Indonesia terbanyak dijumpai di Sumatera (35 persen), Kalimantan (30 persen), dan Papua (30 persen). 14 NOVEMBER 2008. Tidak ada komentar: atau luasnya kerusakan lahan gambut akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan dan HTI. Tingginya pencemaran di aliran Sungai Siak –yang selama ini diributkan
Diantara sebab-sebabnya adalah hilangnya habitat dan sumber makanan akibat alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian atau bahkan permukiman, terjadinya suksesi, perburuan ilegal, kebakaran hutan, pencemaran lingkungan, dan sebagainya. Pohon kayu putih (Melaleuca leucadendra) terutama tumbuh dengan baik dan banyak dijumpai di daerah
Luashutan mangrove di Indonesia pada tahun 1999 mencapai 8,60 juta hektar dan yang telah mengalami kerusakan sekitar 5,30 juta hektar. Kerusakan tersebut antara lain disebabkan oleh konversi mangrove menjadi kawasan pertambakan, pemukiman, dan industri, padahal mangrove berfungsi sangat strategis dalam menciptakan ekosistem pantai yang layak untuk kehidupan
Lahanmarginal berpotensi untuk dijadikan lahan budidaya produksi tanaman pangan, seperti padi gogo, jagung, kelapa sawit, ubi jalar, dan kacang tanah. Selain berpotensi untuk budidaya tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan, lahan marginal juga dapat dimanfaatkan untuk usaha peternakan. Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi pemanfaatan
Alihfungsi lahan gambut alami menjadi perkebunan besar memberikan dampak negatif maupun positif bagi lingkungan. Keanekaragaman hayati dengan sendirinya akan menurun. Masyarakat tradisional yang pada awalnya mengambil hasil hutan di sekitar tempat tinggalnya tidak dapat melakukan hal tersebut setelah perkebunan beroperasi. Mereka yang tinggal di
Deforestasidan Alih Fungsi Hutan menjadi Perkebunan Pada awal penelitian dilakukan analisis tutupan hutan sebagai indikator pengelolaan hutan diwilayah kerja KPHP Dharmasraya. Hasil yang diperoleh adalah deforestasi dan alih fungsi hutan yang sangat memprihatinkan di wilayah KPHP Dharmasraya. Hasil analisis citra satelit
.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Seperti yang kita tahu, hutan merupakan kawasan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Hutan berfungsi sebagai penyedia air bagi kehidupan, tempat tinggal hewan sekaligus tempat hidup berbagai tanaman. Ekosistem hutan sangatlah krusial bagi kehidupan makhluk bumi terutama manusia, dimana ekosistem tersebut tidak hanya menyimpan sumber daya alam berupa kayu - kayuan atau pepohonan, tetapi masih banyak potensi - potensi lain yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebagai fungsi ekosistem, hutan difungsikan sebagai penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. Sayangnya, akhir - akhir ini Indonesia telah didaulat sebagai negara dengan kerusakan hutan paling cepat di antara negara-negara lainnya yang memiliki hutan. Bahkan, pada tahun 2009 Guinnes Book of Record mencatat terjadi pengurangan lahan hutan Indonesia sekitar 2% setiap tahunnya. Kerusakan hutan tropis akibat adanya industri kelapa sawit, kertas dan pulp merupakan bencana ekologis yang menjadi kontributor utama emisi gas rumah kaca. Selama kurang lebih setengah abad lamanya, lebih dari 74 juta hektar hutan Indonesia seluas lebih dari dua kali ukuran negara Jerman telah ditebang, dibakar atau rusak. Dengan kata lain, hutan telah dialih fungsikan dan dieksploitasi menjadi lahan perkebunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik BPS yang dipublikasikan pada Desember 2019 disebutkan bahwa luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai 14,32 juta hektar. Dengan rincian, luas perkebunan besar sekitar 8,51 juta hektar dengan jumlah produksi kelapa sawit 26,57 juta ton. Perkebunan sawit ini sebagian besar dimiliki oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang industri. Contohnya Sinar Mas Agro Resources and Technology atau PT. Sinar Mas Group. Sinar Mas Group merupakan produsen terbesar minyak sawit, pulp dan kertas di Indonesia yang didirikan pada tahun 1962. Seperti dilansir dari laman kekuasaan grup usaha ini telah mencapai hektar lahan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2009 dan terus berkembang hingga mencapai sekitar hektar pada tahun 2020. Lahan ini berada di wilayah provinsi Kalimantan dan Papua dengan perkiraan lahan hutan yang sangat luas para kritikus menyebutnya sebagai “Lahan simpanan”. Kemudian perusahaan Astra Argo Lestari yang pertama kali membuka lahannya di Provinsi Riau pada tahun 1984 kini memiliki lahan sekitar 286,8 hektar dengan pendapatan pertahunnya mencapai 17,45 triliun. Ada pula perusahaan Salim Ivomas Pratama yang berdiri sejak tahun 1992 memiliki lahan seluas 251,1 hektar. Perusahaan sawit ini menghasilkan produk yang cukup dikenal di pasaran yakni minyak Bimoli dan margarin Palmia dimana produk tersebut cukup diminati dan banyak dikonsumsi maraknya perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia tentunya memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dimana dengan majunya perkebunan kelapa sawit dapat menarik para pemilik modal besar untuk melakukan ekspansi industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Namun, dibalik itu industri kelapa sawit juga membawa banyak dampak negatif. Contohnya seperti ketimpangan agrarian, proletarisasi, masalah perburuhan, kerusakan lingkungan serta musnahnya habitat asli ketimpangan agrarian. Menurut Pandangan Marxisme, kemajuan teknologi telah menyebabkan kehancuran lingkungan dalam bidang pertanian. Dilansir pada laman Food and Agriculture Organization FAO menyebutkan bahwa keluarga petani pertanian, kehutanan, perikanan tangkap dan budidaya, peternakan merupakan penghasil pangan dunia. Lebih dari 570 juta hektar lahan pertanian di dunia, 500 juta hektar dimiliki oleh keluarga petani. Dimana dari lahan tersebut dapat menghasilkan 57% produksi pangan dunia. Namun berdasarkan data Sawit Watch, diperkirakan dalam kurun waktu tahun 2003 – 2013, jumlah petani Indonesia mengalami penuruna yang sangat drastis, yakni sekitar 5,07 juta. Ini sama dengan 1 petani hilang setiap Proletarisasi. Hilangnya garapan petani akibat adanya perkebunan sawit dalam skala besar. Hilangnya lahan garapan membuat para petani harus menjual tenaganya untuk bertahan hidup. Hal inilah yang dinamakan proletarisasi. Menurut pandangan Marxisme, proletarisasi merupakan peristiwa dimana petani melepaskan alat produksinya yakni berupa tanah kepada perusahaan atau kaum borjuis, yang mana kaum borjuis sebagai pemilik modal dan alat produksi ini akhirnya mempekerjakan para petani yang telah kehilangan mata pencaharian mereka. Para petani pun merasa tidak ada pilihan lain selain menjual tenaga kepada perusahaan atau menjadi masalah perburuhan. Sebagai kaum proletariat, para pekerja kelapa sawit sering tidak dianggap dan sering dipermainkan oleh para pemilik modal. Dan lagi - lagi, para proletariat tidak dapat melawan karena takut dengan konsekuensi yang akan diperoleh jika berani melawan, misalnya seperti pemotongan gaji, atau pemberhentian kerja. Akibatnya, semakin banyak perlakuan buruk yang diterima oleh para pekerja. Menurut laporan Accenture for Humanity United 2012, para buruh yang bekerja di perkebunan kelapa sawit rentan mengalami eksploitasi, diantaranya sepeti bekerja secara paksa, sistem gaji yang rendah, bekerja dan hidup pada kondisi lingkungan yang buruk, rawan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual, serta banyaknya perekrutan perkerja di bawah umur. Keempat, yaitu kerusakan lingkungan dan musnahnya habitat asli hewan. Kerusakan lingkungan akibat dari ekspansi lahan perkebunan sangat rentan terjadi, hal ini dikarenakan proses pembersihan lahan kerap dilakukan dengan cara merusak dan membakar hutan. Asap dari pembakaran lahan ini menghasilkan emisi gas rumah kaca yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang cukup ekstrim. Akibat perluasan perkebunan kelapa sawit juga berdampak pada hilangnya habitat alami hewan. Seperti yang terjadi di kawasan hutan tropis Kalimantan dan Sumatera. Penebangan hutan untuk dialih fungsikan menjadi lahan perkebunan menjadi penyebab utama penurunan jumlah orang utan. Banyak orang utan yang mati kelaparan akibat dari hilangnya sumber makanan mereka. Adapula orang utan yang mati akibat dibunuh oleh para pekerja perkebunan karena dianggap sebagai hama dan mengganggu alih fungsi hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit yang terjadi tidak terlepas dari ketergantungan produksi manusia atas sumber daya alam serta ketidaksadaran manusia sebagai penghuni bumi untuk menjaga dan melestarikan alam sekitar. Untuk itu, perlu adanya upaya atau kebijakan yang dibuat untuk mengurangi eksploitasi berlebih dan melindungi kelestarian alam. Salah satu cara yaitu dengan melindungi lahan-lahan pangan tersebut dengan menjadikannya lahan pertanian pangan berkelanjutan. Sehingga diharapkan terjadi keseimbangan bagi individu, ekologi, dan ekonomi masyarakat sekitar. Lihat Nature Selengkapnya
Laju pengurangan luas tutupan hutan Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Pada aspek hidrologi dan konservasi tanah, alih fungsi hutan yang tidak dilakukan secara cermat akan membawa dampak negatif berupa melonjaknya debit puncak aliran sungai, terganggunya distribusi debit bulanan, erosi dan sedimentasi. Untuk meminimalkan dampak ini, pada alih fungsi hutan yang sudah tidak dapat dihindarkan lagi, perlu dilakukan penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan pemanenan air pada berbagai tipe penggunaan lahan. Kata kunci alih fungsi, debit sungai, erosi, sedimentasi dan teknik konservasi Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1031 Staf Peneliti Balai Penelitian Kehutanan MataramALIH FUNGSI KONVERSI KAWASAN HUTAN INDONESIA TINJAUAN ASPEK HIDROLOGI DAN KONSERVASI TANAHOleh 1Budi Hadi NarendraABSTRAKLaju pengurangan luas tutupan hutan Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Pada aspek hidrologi dan konservasi tanah, alih fungsi hutan yang tidak dilakukan secara cermat akan membawa dampak negatif berupa melonjaknya debit puncak aliran sungai, terganggunya distribusi debit bulanan, erosi dan sedimentasi. Untuk meminimalkan dampak ini, pada alih fungsi hutan yang sudah tidak dapat dihindarkan lagi, perlu dilakukan penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan pemanenan air pada berbagai tipe penggunaan kunci alih fungsi, debit sungai, erosi, sedimentasi dan teknik konservasiI. PENDAHULUANHutan tropis termasuk sumberdaya alam terpenting di dunia. Luasnya hanya 30% permukaan bumi namun merupakan wadah utama bagi keanekaragaman hayati WWF, 2003. Keberadaan hutan tropis Indonesia telah dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia yang manfaatnya tidak hanya dirasakan di dalam negeri namun telah diakui di skala global. Selain itu daratan Indonesia yang luasnya hanya 1,3% daratan bumi namun hutannya dikenal memiliki keragaman jenis flora dan fauna terbanyak. Dari total spesies mahluk hidup di dunia, hutan Indonesia memiliki 11 persen spesies tumbuhan, 10 persen spesies mamalia, dan 16 persen spesies burung di dunia. Namun seiring perkembangan waktu, luas tutupan hutan di Indonesia kian hari kian mencemaskan diantaranya disebabkan oleh alih fungsi kawasan fungsi atau konversi kawasan hutan telah sering terjadi di Indonesia. Berbagai faktor yang mendasari terjadinya alih fungsi hutan ini seperti kegiatan ekonomi, pengembangan wilayah, dan dampak kegiatan illegal loging dan kebakaran hutan. Berbagai dampak dari alih fungsi hutan ini dapat dikategorikan pada dampak hidrologi, erosi dan 104Prosiding Fungsi Kawasan Hutansedimentasi, kebakaran, kepunahan flora dan fauna, dan dampak terhadap sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Makalah ini mengulas keadaan tutupan hutan Indonesia hubungannya dengan adanya alih fungsi hutan, dan akibat yang dapat ditimbulkan jika alih fungsi hutan dilakukan tidak secara seksama ditinjau dari aspek hidrologi dan konservasi tanah. Contoh-contoh kasus yang ditampilkan adalah berdasar hasil penelitian di dalam dan luar negeri yang memiliki tipe tutupan hutan seperti di Indonesia. Pada bagian akhir akan disajikan tindakan yang perlu dilakukan dalam meminimalkan dampak, jika keputusan alih fungsi hutan sudah tidak bisa dihindarkan TUTUPAN HUTAN INDONESIAPemerintah melalui lembaga kehutanan pada tahun 1950 pernah merilis peta vegetasi yang berisi informasi bahwa sekitar 84 persen luas daratan Indonesia hektar tertutup hutan primer dan sekunder, termasuk seluruh tipe perkebunan. Peta tersebut juga menyebutkan luas hutan per pulau secara berturut-turut, Kalimantan memiliki areal hutan seluas hektar, Irian Jaya hektar, Sumatera hektar, Sulawesi hektar, Maluku hektar, Jawa hektar serta terakhir Bali dan Nusa Tenggara seluas hektar WRI, 2002.Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. World Resource Institute menyatakan hingga saat ini Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen. Pada periode 1997–2000, ditemukan fakta baru bahwa penyusutan hutan meningkat menjadi 2,8 juta hektar per tahun, dua kali lebih cepat dibandingkan tahun 1980. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Data dari Badan Planologi Kehutanan tahun 2003 menunjukkan berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, di antaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan tahun 2003, data dari Departemen Kehutanan menunjukkan tutupan hutan hanya sekitar 94 juta hektar atau sekitar setengah dari total luas lahan di Indonesia. Sedangkan analisis FAO Food and Agricultural Organisation mengatakan bahwa tutupan hutan Indonesia pada tahun 2005 hanya sekitar 88,5 juta hektar atau sekitar 48,8% dari total luas lahan dan 46,5% dari total luas wilayah. Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup KLH pada tahun 2007 melakukan interpretasi citra satelit Landsat 7 ETM+, dengan menggunakan data perekaman citra satelit 105Alih Fungsi Konservasi .......... Budi Hadi Narendratahun 2004 – 2006 yang digeneralisasi menjadi data tahun 2005. Hasilnya menunjukan bahwa tutupan hutan seluruh wilayah Indonesia berkurang menjadi sekitar 83 juta ALIH FUNGSI KAWASAN HUTAN INDONESIAKondisi hutan Indonesia yang diindikasikan dari luas penutupannya menunjukkan gambaran yang makin memprihatinkan, sejalan dengan konversi dan eksploitasi yang telah dilakukan. Dari data luasan tersebut di atas, tercatat data laju kerusakan hutan Indonesia dalam kurun waktu 1997-2000 yang dikeluarkan Departemen Kehutanan adalah 2,83 juta ha per tahun. Pada tahun 2007, dalam buku laporan State of the World's Forests FAO, Indonesia telah berada dalam urutan ke-8 negara dengan luas hutan alam terbesar di dunia. Dengan laju kerusakan hutan 1,87 juta ha per tahun dalam kurun waktu 2000 – 2005, menempatkan Indonesia sebagai negara urutan ke-2 dengan laju kerusakan hutan tertinggi dunia. Analisis yang dilakukan FWI dalam kurun waktu 1989 – 2003 menunjukkan bahwa tutupan hutan Indonesia telah mengalami perubahan akibat dari penurunan kualitas hutan degradasi 4,6 juta ha/tahun dan kehilangan tutupan hutan deforestasi sekitar 1,99 juta ha/tahun ISAI, 2007.Deforestasi merupakan salah satu faktor utama yang banyak dijumpai sebagai penyebab terjadinya perubahan fungsi ekologis pada hutan tropis Lambin, 1994. Secara umum deforestasi didefinisikan sebagai penurununan kualitas degradasi kawasan hutan, sedangkan secara sempit diartikan sebagai berubahnya fungsi alih fungsi kawasan hutan Wunder, 2000. Banyak hal yang mempengaruhi berkurangnya atau menurunnya kualitas tutupan hutan Indonesia. Lambin dan Helmut 2001 membagi penyebab deforestasi menjadi 3 kelompok yaitu penyebab langsung, penyebab dasar, dan penyebab biofisik. Penyebab langsung merupakan aktifitas manusia yang secara langsung mempengaruhi kondisi tutupan hutan dan fungsinya seperti exploitasi kayu, perluasan areal pertanian, perkebunan, pemukiman, industri, dan sebagainya. Penyebab dasar biasanya berupa faktor yang komplek seperti faktor social, politik, ekonomi, budaya, dan kependudukan. Penyebab biofisik yang kebanyakan berasal dari faktor Indonesia, alih fungsi kawasan hutan merupakan dampak langsung maupun tidak langsung dari perkembangan industri perkayuan, pemberian ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu IUPHHK pada hutan alam HA maupun hutan tanaman HT, ijin pemanfaatan kayu IPK, pelepasan kawasan untuk perkebunan, pertambangan, dan pemekaran 106Prosiding Fungsi Kawasan Hutanwilayah, serta maraknya pembalakan liar illegal logging dan kebakaran besar-besaran dalam industri kayu lapis dan industri pulp dan kertas selama 20 tahun terakhir menyebabkan permintaan terhadap bahan baku kayu pada saat ini jauh melebihi pasokan legal. Kesenjangannya mencapai 40 juta meter kubik setiap tahun. Banyak industri pengolahan kayu yang mengakui ketergantungan mereka pada kayu illegal, jumlahnya mencapai 65 persen dari pasokan total pada 2000 ISAI, 2007. Pembangunan Hutan Tanaman Industri HTI dan sistem konversi hutan menjadi perkebunan menyebabkan deforestasi bertambah luas. Banyak pengusaha mengajukan permohonan izin pembangunan HTI dan perkebunan hanya sebagai dalih untuk mendapatkan keuntungan besar dari Izin Pemanfaatan Kayu IPK pada areal hutan alam yang dikonversi. Setelah itu mereka tidak melakukan penanaman kembali, yang menyebabkan jutaan hektar lahan menjadi terlantar. Disamping itu, beberapa perusahaan perkebunan dan HTI sering melakukan pembakaran untuk pembersihan lahan, yang merupakan sumber utama bencana kebakaran hutan di catatan pada masa pendudukan Belanda, pada tahun 1939 perkebunan skala besar yang dieksploitasi luasnya mencapai 2,5 juta hektar dan hanya 1,2 juta hektar yang ditanami. Hingga tahun 1950-an luasan ini tidak banyak berubah. Sampai dengan tahun 1969 luasan hutan yang dialihfungsikan telah mencapai 4,6 juta hektar. Sebagian besar lahan hutan itu berubah menjadi perkebunan dan sebagian besar adalah untuk kepentingan pertanian, terutama untuk budidaya padi WRI, 2002.Hingga kini desakan untuk perluasan kebun sawit makin kuat. Minyak sawit mentah CPO menjadi salah satu komoditas unggulan Indonesia. Wilayah Sumatera dan Kalimantan merupakan wilayah utama pengembangan kelapa sawit. Pada tahun 2003, dari kurang lebih 5,25 juta ha lahan yang dialokasikan untuk kelapa sawit, sekitar 19 % ada di Kalimantan dan 72% di Sumatera. Perluasan areal tanaman ini dimulai sejak investasi asing dibuka kembali pada tahun 1967 dan mulai meningkat kejayaannya pada tahun 1990-an. Dari luas ha pada tahun 1967, areal perkebunan kelapa sawit berkembang menjadi 5,59 juta ha pada tahun 2005. Diprediksi perluasan perkebunan kelapa sawit masih akan terus dilakukan sampai 13,8 juta ha pada tahun 2020 FWI, 2008. Menurut beberapa kajian, hampir semua perkebunan kelapa sawit berasal dari kegiatan konversi hutan produksi. Dengan prosedur untuk memperoleh lahan hutan yang relatif mudah, maka perusahaan dapat menebang habis serta menjual kayunya sebagai bisnis sampingan yang cukup menguntungkan, di luar keuntungan hasil panen kelapa sawit di masa yang akan datang. Sayangnya, masih ada juga perusahaan nakal yang 107hanya tertarik untuk mengambil kayu daripada menanam kelapa sawit pada wilayah konsesinya, bahkan ada diantaranya yang tidak pernah mempunyai keinginan untuk membangun perkebunan kelapa sawit, tetapi hanya mengejar ijin konversi untuk memperoleh keuntungan dari kayu yang didapatkan dari kegiatan pembukaan lahan land clearing.Sektor pertambangan juga turut andil dalam alih fungsi kawasan hutan. Hingga 2006, ijin yang dikeluarkan Departemen ESDM terdapat sekitar ijin dengan total luas konsesi sekitar 28,27 juta ha. Dari total jumlah ijin yang dikeluarkan, ada 150 diantaranya berada di kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi dengan luas lebih dari 11 juta ha FWI, 2008. Dampak dari kegiatan pertambangan diyakini memiliki daya rusak yang sangat sulit dipulihkan. Kerusakan lingkungan, konflik horisontal dan pemiskinan menjadi fakta yang sering kita jumpai di lapangan. Ancaman alih fungsi kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi datang juga dari pertambangan minyak dan gas bumi. Hingga tahun 2006, pemerintah melalui Departemen ESDM sudah mengeluarkan ijin 202 blok migas. Dari jumlah tersebut sebanyak 68 blok sekitar 1,8 juta ha menempati kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata Alam, dan Taman Hutan tindakan anarki, dan lemahnya penegakan hukum berkembang menjadi faktor utama meningkatnya pembalakan ilegal, dan penggundulan dan kebakaran hutan. Pencurian kayu bahkan marak terjadi di kawasan konservasi, misalnya di Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah dan di Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara dan Aceh. Hal serupa terjadi di hutan Sekotong dan Sesaot di Lombok Barat yang merupakan penyangga kebutuhan air masyarakat Lombok. Kini kondisinya makin memprihatinkan, bahkan terancam menuju proses penggurunan Suhaili, 2007.IV. DAMPAK ALIH FUNGSI KAWASAN TERHADAP FUNGSI HIDROLOGISAlih fungsi kawasan hutan menjadi peruntukan lainnya diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun bila tidak dicermati dan dipertimbangkan secara matang dari aspek lingkungan, ekologi, hukum, sosial, ekonomi dan budaya, maka alih fungsi tersebut akan menimbulkan dampak negatif baik secara lokal maupun dalam skala luas. Dalam alih fungsi ini hendaknya tetap dijaga adanya keseimbangan antara fungsi sumber daya hutan sebagai komponen ekologi dan fungsi hutan lainnya sebagai komponen ekonomi. Berbagai bencana yang sering kita dengar Alih Fungsi Konservasi .......... Budi Hadi Narendra 108Prosiding Fungsi Kawasan Hutanseperti banjir, kekeringan, longsor, kebakaran hutan, pencemaran, serangan binatang buas, kepunahan flora dan fauna, konflik antar warga diantaranya disebabkan kurang cermatnya penetapan alih fungsi kawasan hutan dan pelaksanaan yang kurang memperhatikan aspek konservasi, terutama pada kawasan hutan yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai hutan lindung atau hutan data WWF Indonesia, telah terjadi konversi lahan secara drastis di hutan Balai Raja yang pada tahun 1986 dengan tutupan hutan sekitar hektar ditetapkan sebagai suaka margasatwa bagi habitat gajah dan harimau sumatera, namun pada tahun 2005 luasannya hanya tinggal 260 hektar. Penurunan jumlah luasan ini turut andil dalam penurunan jumlah secara drastis jenis satwa yang dilindungi tersebut. Dalam tujuh tahun terakhir populasi gajah sumatera berkurang dari sekitar 700 ekor menjadi 350 ekor. Selain itu dilaporkan gajah merusak kebun dan rumah warga maupun harimau yang menyerang ternak dan manusia Foead, 2006.Dari sisi hidrologi telah banyak kajian dan penelitian yang menerangkan bahwa secara umum perubahan fungsi hutan terutama hutan tropis akan berpengaruh terhadap komponen hidrologi seperti curah hujan, total debit tahunan, distribusi musiman aliran sungai, erosi dan sedimentasi. Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi penggunaan lainnya, baik sebagian atau secara total akan merubah respon yang diberikan lahan terhadap masukan input curah hujan. Dampak nyata yang dapat dirasakan diantaranya berupa- berkurangnya curah hujan suatu wilayah yang luasan tutupan hutannya berkurang secara signifikan- meningkatnya debit puncak aliran sungai dibandingkan kondisi sebelum hutan dialihfungsikan, meskipun dengan kondisi curah hujan yang relatif tetap. Hal ini merupakan salah satu pemicu terjadinya banjir- Terjadinya kekeringan atau menurunnya debit sungai saat musim kemarau dibandingkan kondisi awal sebelum hutan dikonversi- Meningkatnya erosi dan sedimentasi- Meningkatnya frekuensi kejadian longsor terutama longsor dangkal shallow slidePara ahli menyatakan bahwa hutan tropis, jika dibandingkan dengan penggunaan lahan lain seperti areal pertanian maupun peternakan, menghasilkan evapotranspirasi yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan tingginya kelembaban atmosfir sehingga peluang terbentuknya awan dan hujan makin besar. Untuk kawasan Asia Tenggara, konversi hutan secara total menjadi semak atau padang rumput akan menurunkan curah hujan rata-rata sebanyak 8%. Namun beberapa ahli 109menyatakan untuk daerah yang lebih banyak dipengaruhi oleh iklim laut, perubahan tutupan hutan efeknya tidak sebesar efek perubahan suhu permukaan air laut Bruijnzeel, 2004.Di masa lalu, fungsi hidrologis hutan sempat menjadi topik diskusi yang hangat. Kelompok pertama yang berpegang pada teori spon sponge theory menyatakan bahwa hutan melalui akar pohon, seresah, dan tanah mampu menyimpan air hujan dan melepaskannya secara perlahan. Kelompok lain pemegang teori infiltrasi menyatakan bahwa tata air di hutan lebih banyak dipengaruhi oleh komponen geologis berupa tipe batuan atau tanah hutan, dibandingkan dengan ada atau tidak adanya tutupan hutan. Sedangkan kelompok yang netral lebih menekankan fungsi hutan dalam mencegah erosi dan banjir. Kini para ahli lebih memandang akar pepohonan lebih sesuai sebagai ”pompa air” dibandingkan sebagai spon, dan di musim kemarau akar tidak melepaskan air ke tanah tetapi melepas air ke udara dalam proses transpirasi. Mereka juga menyatakan bahwa banjir terjadi akibat tingginya intensitas curah hujan, atau hujan berlangsung dalam waktu lama serta tutupan lahan tidak mampu lagi menginfiltrasi air hujan secara optimal, dan kapasitas penyimpanan tanah telah terlampaui sehingga kelebihan air melimpas ke aliran sungai Hamilton dan King, 1983. Dengan kata lain kejadian banjir tidak semata-mata hanya dipengaruhi kondisi penutupan lahan, tetapi juga tergantung faktor iklim dan proses pengkonversian tutupan hutan, fungsi ”spon” pada hutan menjadi berkurang atau hilang sama sekali. Efek yang dihasilkan perlu dipisahkan antara total hasil air tahunan dengan distribusi debit air musiman atau bulanan. Dengan berkurangnya tutupan hutan, hasil air tahunan cenderung meningkat karena tidak ada atau berkurangnya jumlah air yang dilepaskan melalui transpirasi. Jika tutupan hutan yang dikonversi tidak terlalu besar, jumlah air yang disimpan masih dapat dilepaskan sepanjang tahun secara kontinyu sebagai aliran dasar. Sebaliknya, jika hutan dikonversi secara besar-besaran atau secara total, jumlah air yang tersimpan sebagai air tanah sangat minim jumlahnya sehingga pada saat musim kemarau suplai air ke alur sungai atau mata air sangat penelitian telah menghasilkan kesimpulan yang men-dukung pernyataan di atas. Penelitian dengan keakuratan tinggi dilakukan melalui pengamatan terhadap sub DAS yang berpasangan. Dengan cara ini kesalahan akibat perbedaan kondisi iklim dan lahan dapat diminimalisir hingga 33°, sedangkan pada hutan dengan penutupan vegetasi yang masih baik, peristiwa ini jarang terjadi. Untuk longsoran yang lebih dalam > 3m, kejadiannya lebih banyak dikontrol oleh faktor geologi, topografi, dan iklim Bruijnzeel, 2004.VI. TINDAKAN MEMINIMALKAN DAMPAK ALIH FUNGSI HUTANAlih fungsi kawasan hutan pada masa sekarang sudah sulit untuk dihindarkan. Jika alih fungsi kawasan hutan sudah tidak dapat dihindari, tindakan yang perlu diambil adalah menjaga agar alih fungsi tersebut tidak sampai menimbulkan kerusakan drastis pada tatanan proses hidrologis atau menekan seminimal mungkin dampak yang ditimbulkan khususnya pada aspek hidrologi dan konservasi tanah. Caranya adalah dengan menjaga agar proses infiltrasi air hujan tetap terwadahi sehingga limpasan permukaan dapat ditekan melalui tindakan konservasi tanah dan aplikasi teknik-teknik pemanenan air. Tindakan ini dapat diaplikasi-kan pada setiap jenis penggunaan lahan yang mengantikan penutupan hutan. Namun perlu diperhatikan bahwa perananan hutan alam secara keseluruhan tidak dapat digantikan secara utuh oleh tipe penutupan lahan lahan kegiatan pertanian, telah banyak contoh teknik konservasi tanah yang dapat diaplikasikan dengan tujuan meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah dan mengurangi erosi, seperti pembuatan teras, rorak, Alih Fungsi Konservasi .......... Budi Hadi Narendra 114Prosiding Fungsi Kawasan Hutanaplikasi mulsa, tanaman penutup tanah cover crop, penerarapan sistem agroforestry, pertanaman lorong alley cropping, multi strata tajuk. Dengan cara-cara ini diharapkan limpasan permukaan dapat ditekan, kesempatan infiltrasi tanah tetap terjaga, dan distribusi debit aliran dapat berkesinambungan meski memasuki musim kemarau. Bahkan hasil eksperimen yang dilakukan Edwards 1979 di Tanzania seperti tampak pada Gambar 2 menunjukkan adanya peningkatan debit bulanan yang dihasilkan daerah tangkapan air setelah tutupan hutan dialihfungsikan menjadi lahan pertanian tanaman semusim disertai dengan penerapan teknik konservasi tanah. Dengan cara ini air hujan secara optimal tersimpan sebagai air tanah dan total volume air dalam setahun juga meningkat karena berkurangnya evapotranspirasi sehubungan dengan konversi 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11BulanDebit aliran mm/bulanHutanPertanian+konservasiGambar 2. Distribusi debit aliran bulanan sebelum dan setelah alih fungsi kawasan hutan menjadi areal pertanian disertai tindakan konservasi di TanzaniaDemikian pula pada alih fungsi hutan menjadi pemukiman, dan infrastruktur penunjangnya seperti jaringan jalan, upaya pemanenan air melalui pembuatan sumur resapan dan parit jebakan dapat membantu mengurangi aliran permukaan dan erosi. Pada alih fungsi hutan untuk kegiatan penambangan, perlu diawasi agar tiap aspek kegiatan penambangan dilakukan secara ramah lingkungan. Pencemaran tanah dan tubuh perairan oleh zat berbahaya harus dicegah. Selain itu perlu terus dikembangkan upaya-upaya untuk mempercepat proses revegetasi 115pasca penambangan terutama pada tanah-tanah miskin hara, tercemar bahan kimia, atau mengandung logam berat yang menjadi faktor pembatas kemampuan hidup pengalihan fungsi hutan alam menjadi hutan tanaman atau perkebunan, pemilihan jenis tanaman merupakan salah satu faktor vital yang menentukan besarnya perubahan tata air. Namun belum banyak hasil penelitian tentang hal tersebut pada lokasi dan jenis yang spesifik. Untuk penanaman di lokasi bercurah hujan tinggi, pemilihan jenis-jenis ini tidak akan terasa dampaknya terhadap pengurangan debit air di musim kemarau. Namun di daerah yang jumlah curah hujannya sedang atau minim, jenis-jenis ini akan menjadi kompetitor bagi pengguna air lainnya khususnya di musim kemarau. Untuk erosi dan sedimentasi yang terutama terjadi pada tahap awal pembangunan hutan tanaman dapat diminimalisir dengan penerapan sistem agroforestry, penggunaan mulsa atau tanaman penutup tanah rendah dari jenis legum. Jenis legum telah terbukti memiliki kemampuan lebih dalam menjaga dan memperbaiki kondisi fisika dan kimia tanah, serta memiliki berbagai manfaat lain seperti penyuplai pakan ternak maupun kayu KESIMPULANLaju pengurangan luas tutupan hutan Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Pada aspek hidrologi dan konservasi tanah, alih fungsi hutan yang tidak dilakukan secara cermat akan membawa dampak negatif berupa melonjaknya debit puncak aliran sungai, terganggunya distribusi debit bulanan, erosi dan sedimentasi. Untuk meminimalkan dampak ini, pada alih fungsi hutan yang sudah tidak dapat dihindarkan lagi, perlu dilakukan penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan pemanenan air pada berbagai tipe penggunaan lahan .DAFTAR PUSTAKABlackie, 1979. The water balance of the Kimakia catchments. E. Afr. Agric. For. J. 43, pp. 155–174. dalam Bruijnzeel. 2004. Hydrological functions of tropical forests not seeing the soil for the trees? Agric. Ecos. Env. 104 2004, pp. 185– 1990. Hydrology of Moist Tropical Forest and Effects of Conversion A State of Knowledge Review. UNESCO, Paris, and Vrije Universiteit, Amsterdam, The Netherlands, 226 Fungsi Konservasi .......... Budi Hadi Narendra 116Prosiding Fungsi Kawasan HutanBruijnzeel. 2004. Hydrological functions of tropical forests not seeing the soil for the trees? Agric. Ecos. Env. 104 2004, pp. 185– E., Kucera, J. and Malmer, A., 2000. Tree sap flow and stand transpiration of two Acacia mangium plantations in Sabah, Borneo. J. Hydrol. 236, pp. 109– 1979. The water balance of the Mbeya experimental catchments. E. Afr. Agric. For. J. 43, pp. 231– N. 2006. Konversi Hutan Alam Ancam Habitat. Harian Kompas 11 Maret 2006. Diakses tanggal 27 Juli Syed Sofi, Tan. 1983. A lysimetric simulation of leaching losses from an oil palm field. Proceedings of the Seminar on Fertilizers in Malaysian Agriculture. Malaysian Society of Soil Science, Kuala Lumpur, pp. 45–68 dalam Bruijnzeel. 2004. Hydrological functions of tropical forests not seeing the soil for the trees? Agric. Ecos. Env. 104 2004, pp. 185– Forest Watch Indonesia. 2008. Perkembangan Tutupan Hutan Indonesia. Diakses tanggal 27 Juli dan 1983. Tropical Forested Watersheds. Hydrologic and Soils Response to Major Uses or Conversions. Westview Press, Boulder, CO, p. 168. dalam Bruijnzeel, 2004 Bruijnzeel, Hydrological functions of tropical forests not seeing the soil for the trees?, Agric. Ecos. Env. 104 2004.Harto, dan A. Kondoh. 1998. The effect of land use changes on the water balance in the Ciliwung-Cisadane catchment, West Java, Indonesia. Prosiding the International Symposium on Hydrology, Water Resources and Environment, Development and Management in Southeast Asia and the Pacific, Taegu, Republic of Korea, November 10–13, 1998. ROSTSEA/UNESCO, Jakarta, pp. 121– 2007. Potret Buram Hutan Indonesia. Diakses tanggal 27 Juli 1994. Modeling deforestation processes a review Research report. No. 1 TREES Series B. 115 p. dalam Loza, A. 2004. A spatial logistic model for tropical forest conversion. MSc Thesis in Geo-information Science and Earth Observation, Environmental System Analysis and Management. ITC-Netherlands. Lambin, dan J. Helmut. 2001. What Drives Tropical deforestation? LUCC international project. CIACO. Belgium dalam Loza, A. 2004. A spatial logistic model for tropical forest conversion. MSc Thesis in Geo-information Science and Earth Observation, Environmental System Analysis and Management. A. dan Bruijnzeel. 1991. Erosion, sediment yield and land use patterns in the upper Konto watershed, East Java, Indonesia. Konto River Project Communication, vol. 3. Konto River Project, Malang, Indonesia, 150 J. and Rosier. 1993. Physiological studies in young Eucalyptus stands in southern India and derived estimates of forest transpiration. Agric. Water Manage. 24, pp. 103– L. 2007. Hutan Sekotong Terancam Menjadi Gurun. Harian Suara NTB tanggal 13 Januari 1994. Hydrological Conditions in Indonesia. Delft Hydraulics, Jakarta, Indonesia, p. dan 2004. Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian apakah fungsi hidrologis hutan dapat digantikan system k o p i m o n o k u l t u r ? A G R I V I T A 2 6 1 4 7 - 5 2 . Diakses tanggal 15 Juli 1984. Surface erosion under various tropical agroforestry systems. IUFRO, Vienna, pp. 231–239. dalam Bruijnzeel. 2004. Hydrological functions of tropical forests not seeing the soil for the trees? Agric. Ecos. Env. 104 2004, pp. 185– World Resource Institute. 2002. State of the Forest Indonesia. Diakses tanggal 28 Juli S. 2000. The economics of deforestation. St. Antony's Series ed. Great Britain. dalam Loza, A. 2004. A spatial logistic model for tropical forest conversion. MSc Thesis in Geo-information Science and Earth Observation, Environmental System Analysis and Management. W F. 2003 . W W F 's Appro a c h t o F or est Co n s er vati o n . Diakses tanggal 15 Juli Fungsi Konservasi .......... Budi Hadi Narendra ... konversi Setiawan et al. 2016;Prabowo et al. 2017, eksploitasi yang berlebihan Narendra 2009;Maryudi 2015a, pembalakan liar Maryudi 2016, konflik tenurial Maryudi & Krott 2012;Maryudi et al. 2016, dan desentralisasi Barr et et al. 2016a;Sahide et al. 2016b. ...Diindikasikan bahwa tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia ada kaitannya dengan tingkat korupsi yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tipologi dan kerawanan korupsi sektor kehutanan di Indonesia. Sejak tahun 2001 sampai dengan 2015, sebanyak 39 pelaku korupsi sektor kehutanan yang terdiri dari anggota DPR, pejabat Kementerian Kehutanan, Kepala Daerah Gubernur/Bupati/Kepala Dinas serta pengusaha, telah diproses hukum dan mendapatkan vonis dari pengadilan. Terdapat 6 enam tipologi korupsi sektor kehutanan di Indonesia yaitu 1 korupsi transaksional, 2 pemerasan, 3 investasi untuk korupsi, 4 nepotisme, 5 korupsi untuk bertahan, dan 6 korupsi untuk mendapatkan dukungan. Penelitian ini menemukan 4 bentuk kerawanan korupsi sektor kehutanan yaitu 1 proses perijinan, 2 pengawasan 3 proses tata ruang kehutanan, dan 4 pengadaan barang dan jasa kunci deforestasi; kehutanan Indonesia; kerawanan korupsi; korupsi; tipologi korupsi The Typology and Corruption Susceptibility in Forestry Sector in IndonesiaAbstractIt is widely indicated that the high rates of deforestation in Indonesia are closely linked with the high corruption. This research aimed to identify the typologies and the potential of occurence of corruption in the forest sector in Indonesia. From 2001 to 2015, thirty nine corruptors have been brought to the courts and eventually sentenced. They included parliament members, high-rank forest officials, local government Governor/Mayor/Chief of District Forest Service, and business persons. This research found six typologies of corruption in the forest sector in Indonesia, 1 transactive corruption, 2 extortive corruption, 3 investive corruption, 4 nepotistic corruption, 5 defensive corruption, and 6 supportive corruption. It also identified four forest activities that potentially encourage corruption, 1 licensing, 2 monitoring, 3 spatial planning, and 4 public Infuence of landuse change causes change of the condition of flow discharge. However, the impact of this landuse change is that the rainfall has more potential to be overland flow than infiltration. The aims of this research are 1 to assess the patterns of rainfall of 2000, 2005, 2010 and 2014; 2 to assess the land use changes of 2000, 2005, 2010 and 2014; 3 to analyze the design discharge under land use predictions of 2028; and 4 to arrange land use planning that the peak discharge less than peak discharge of Karian Dam. Data were analysed by grid interpolation, Rational, CA-Markov. The results showed that land use of 2000–2014 change from forest to agriculture dry land area about km2, from dry land farming to rice field area about km2, from dry land agriculture to plantation area about km2 and forests to plantations about km2. The total area of land uses change of km2 but the land use type which remain as existing land uses are km2 Flood discharge predictions is not eligible for the best land use pattern because it exceeded the design of flood discharge of Karian Dam. The actual flood discharge is still qualify, flood discharge based on Spatial Pattern and scenarios four to synchronize the flood discharge based on Spatial Pattern is qualify for the best land use pattern. scenarios four for spatial pattern is the best land use planning to be applied that are regarded as the reference of land use in Ciberang watershed Lebak Regency of 2014-2034. L. Adrian BruijnzeelDiffering perceptions of the impacts on hydrological functions of tropical forest clearance and conversion to other land uses have given rise to growing and often heated debate about directions of public environmental policy in southeast Asia. In order to help bring more balance and clarity to such debate, this paper reviews a wide range of available scientific evidence with respect to the influence exerted by the presence or absence of a good forest cover on regional climate rainfall, total and seasonal water yield floods, low flows, as well as on different forms of erosion and catchment sediment yield under humid tropical conditions in general and in southeast Asia in particular. It is concluded that effects of forest disturbance and conversion on rainfall will be smaller than the average decrease of 8% predicted for a complete conversion to grassland in southeast Asia because the radiative properties of secondary regrowth quickly resemble those of the original forest again. In addition, under the prevailing 'maritime' climatic conditions, effects of land-cover change on climate can be expected to be less pronounced than those of changes in sea-surface temperatures. Total annual water yield is seen to increase with the percentage of forest biomass removed, with maximum gains in water yield upon total clearing. Actual amounts differ between sites and years due to differences in rainfall and degree of surface disturbance. As long as surface disturbance remains limited, the bulk of the annual increase in water yield occurs as baseflow low flows, but often rainfall infiltration opportunities are reduced to the extent that groundwater reserves are replenished insufficiently during the rainy season, with strong declines in dry season flows as a result. Although reforestation and soil conservation measures are capable of reducing the enhanced peak flows and stormflows associated with soil degradation, no well-documented case exists where this has also produced a corresponding increase in low flows. To some extent this will reflect the higher water use of the newly planted trees but it cannot be ruled out that soil water storage opportunities may have declined too much as a result of soil erosion during the post-clearing phase for remediation to have a net positive effect. A good plant cover is generally capable of preventing surface erosion and, in the case of a well-developed tree cover, shallow landsliding as well, but more deep-seated >3 m slides are determined rather by geological and climatic factors. A survey of over 60 catchment sediment yield studies from southeast Asia demonstrates the very considerable effects of such common forest disturbances as selective logging and clearing for agriculture or plantations, and, above all, urbanisation, mining and road construction. The 'low flow problem' is identified as the single most important 'watershed' issue requiring further research, along with the evaluation of the time lag between upland soil conservation measures and any resulting changes in sediment yield at increasingly large distances downstream. It is recommended to conduct such future work within the context of the traditional paired catchment approach, complemented with process-based measuring and modelling techniques. Finally, more attention should be paid to the underlying geological * Tel. controls of catchment hydrological behaviour when analysing the effect of land use change on low flows or sediment use of Acacia mangium trees grown in plantations was measured by a heat balance method in two stands that largely differed in tree density. Tree sap flow was closely coupled to climatic drivers and responded with minimal time delay. Using no time shift, sap flow rate could be tightly fitted to a simple equation that combined a parabolic response to radiation and an inverse linear response to air humidity. On the contrary, the analysis of canopy conductance showed no meaningful response to either individual or combined microclimatic variables. No indication of water deficit was observed, though the measurement period was during the dry period of the year. The measurements indicate a minimal diurnal use of water stored in plant tissues. The difference in tree water use from the two studied stands was effectively scaled by tree sapwood area. Canopy transpiration of the densest stand reached in average mm d−1 compared with mm d−1 for the stand representing the average conditions in the of stomatal conductance gs, leaf water potential Ψ1 and leaf area index L∗ were made in plantations of Eucalyptus camaldulensis and E. tereticornis at Puradal, near Shimoga, Karnataka, southern India during 1988 and 1989. The data were collected in a range of climatic conditions immediately following the establishment of the differences between the two species were small and largely confined to for both species showed a similar pattern of behaviour in relation to the availability of soil moisture and the onset of the variables and above-canopy meteorological data were combined an a multi-layer formulation to calculate hourly transpiration from the two species. Transpiration rates varied from mmd−1 for the post-monsoon period to mmd−1 prior to the onset of the monsoon for trees less than 1-year-old to mmd−1 and mmd−1, respectively, for the same climatic periods when the trees were 2 years of functions of tropical forests not seeing the soil for the trees?S F FoongS O Syed SofiP Y TanFoong, Syed Sofi, Tan. 1983. A lysimetric simulation of leaching losses from an oil palm field. Proceedings of the Seminar on Fertilizers in Malaysian Agriculture. Malaysian Society of Soil Science, Kuala Lumpur, pp. 45-68 dalam Bruijnzeel. 2004. Hydrological functions of tropical forests not seeing the soil for the trees? Agric. Ecos. Env. 104 2004, pp. effect of land use changes on the water balance in the Ciliwung-Cisadane catchmentA HartoA DanKondohHarto, dan A. Kondoh. 1998. The effect of land use changes on the water balance in the Ciliwung-Cisadane catchment, West Java, Indonesia. Prosiding the International Symposium on Hydrology, Water Resources and Environment, Development and Management in Southeast Asia and the Pacific, Taegu, Republic of Korea, November 10-13, 1998. ROSTSEA/UNESCO, Jakarta, pp. 2007. Potret Buram Hutan Indonesia. Diakses tanggal 27 Juli spatial logistic model for tropical forest conversion. MSc Thesis in Geoinformation Science and Earth Observation, Environmental System Analysis and ManagementE F LambinLambin, 1994. Modeling deforestation processes a review Research report. No. 1 TREES Series B. 115 p. dalam Loza, A. 2004. A spatial logistic model for tropical forest conversion. MSc Thesis in Geoinformation Science and Earth Observation, Environmental System Analysis and Management. Drives Tropical deforestation? LUCC international project. CIACO. Belgium dalam Loza, A. 2004. A spatial logistic model for tropical forest conversion. MSc Thesis in Geo-information Science and Earth Observation, Environmental System Analysis and ManagementE F J LambinHelmutLambin, dan J. Helmut. 2001. What Drives Tropical deforestation? LUCC international project. CIACO. Belgium dalam Loza, A. 2004. A spatial logistic model for tropical forest conversion. MSc Thesis in Geo-information Science and Earth Observation, Environmental System Analysis and Management. ITC-Netherlands.
Kabar Baru 08 Juni 2021 UU Cipta Kerja kian mempermudah alih fungsi kawasan hutan. Atas nama pembangunan hutan Indonesia akan semakin berkurang. ALIH fungsi hutan acap jadi penyebab bencana hidrometerologi seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, yang menyedot kerugian materi tak sedikit hingga memicu krisis iklim. Masalahnya, alih fungsi hutan sah secara hukum Indonesia. Yang tak sah adalah konversi hutan tanpa izin pemerintah. Maka bagaimana jika pemerintah yang mendorong alih fungsi hutan melalui kebijakan? Pengertian tentang alih fungsi lahan hutan tidak ditemukan dalam regulasi kehutanan namun secara normatif dan kontekstual pengertiannya adalah proses pengalihan fungsi lahan hutan dari kegiatan kehutanan untuk kepentingan kegiatan non kehutanan seperti permukiman, perkebunan, pertambangan. Dalam UU Kehutanan pasal 38 ayat 1 menyebutkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Sebelum PP Nomor 23/2021 terbit, alih fungsi lahan hutan diatur PP 104/2015 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dan PP 105/2015 tentang penggunaan kawasan hutan. Mekanisme alih fungsi lahan hutan diatur melalui dua prosedur, yakni pelepasan kawasan hutan dan izin pinjam pakai kawasan hutan. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK menunjukkan alih fungsi lahan hutan secara legal sejak Orde Baru hingga 2017 6,7 juta hektare. Sedangkan alih fungsi lahan hutan yang menjadi kebun sawit seluas 3,1 juta hektare, belum termasuk pertambangan ilegal. Ada juga alih fungsi melalui izin pinjam pakai kawasan hutan IPPKH yang telah diterbitkan dari tahun 1979 hingga 2018 seluas hektare. Pelepasan kawasan hutan sah apabila Menteri LHK atau pejabat yang ditunjuk, telah menetapkan batas areal kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi HPK dalam Surat Keputusan yang pengurusan selanjutnya menjadi tanggung jawab instansi di bidang pertanahan. Selanjutnya, status kawasan hutan yang telah diserahkan kepada Kementerian Pertanian atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional tersebut dapat diubah menjadi hak guna usaha HGU untuk kegiatan pertanian dan perkebunan, hak guna bangunan HGB atau hak milik HM untuk kegiatan permukiman dan hak-hak lainnya sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Pelepasan kawasan hutan produksi yang bisa dikonversi untuk perizinan berusaha tidak diberikan sekaligus sesuai permohonan jumlah luasnya, tetapi bertahap. Untuk perkebunan paling banyak hektare untuk satu perusahaan atau grup perusahaan, dengan ketentuan diberikan secara bertahap dengan luas paling banyak hektare, dan proses pelepasan berikutnya dilaksanakan setelah dilakukan evaluasi pemanfaatan Kawasan HPK yang telah dilepaskan sebelumnya. Untuk perkebunan tebu paling banyak hektare untuk satu perusahaan atau grup perusahaan dengan ketentuan diberikan secara bertahap dengan luas paling banyak hektare. Dasar pertimbangan pemberian izin secara bertahap tiga kali untuk perkebunan untuk ha dan empat kali untuk perkebunan komoditas tebu untuk ha, belum jelas dan memerlukan penjelasan lebih lanjut. Kegiatan evaluasi oleh Dinas Provinsi atau Kementerian sekalipun berpotensi sebagai sumber kolusi dan korupsi. PP 23/2021, yang menjadi aturan turunan UU Cipta Kerja, mengatur pelepasan kawasan hutan lebih mudah dan kian longgar. Pelepasan kawasan hutan tidak hanya bisa di kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi, juga di kawasan hutan produksi tetap untuk kegiatan proyek strategis nasional, pemulihan ekonomi nasional, pengadaan tanah untuk ketahanan pangan food estate dan energi, pengadaan tanah untuk bencana alam, pengadaan tanah obyek reforma agraria, dan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki izin di dalam kawasan hutan sebelum UU Cipta Kerja terbit. Peran lain UU Cipta Kerja termuat dalam paragraf 3 tentang persetujuan lingkungan pasal 32 ayat 1 yang menyatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah membantu pengurusan Amdal bagi usaha dan/atau kegiatan usaha mikro dan kecil yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Ayat berbunyi 2 bantuan penyusunan Amdal berupa fasilitasi, biaya, dan/atau penyusunan Amdal. Kemudian pasal 34 ayat 1 menegaskan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap Lingkungan Hidup wajib memenuhi standar UKL-UPL. Ayat 2 pemenuhan standar UKL-UPL dinyatakan dalam Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jadi, hutan Indonesia akan terus berkurang karena alih fungsi atas nama pembangunan. UU Cipta Kerja bahkan alih fungsi bisa di kawasan hutan konservasi. Jika Presiden Joko Widodo bisa menerbitkan Peraturan Presiden tentang moratorium hutan permanen pada 5 Agustus 2019 yang melarang perubahan hutan primer dan gambut seluas 66 juta hektare, moratorium alih fungsi hutan semestinya bukan hal sulit. BERSAMA MELESTARIKAN BUMI Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum. Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan. Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp Topik
Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia Sebuah adegan dalam panil porselen HVA yang menggambarkan kesibukan kuli di perkebunan sawit zaman Hindia Belanda. beberapa dekade terakhir, kawasan hutan luas di Sumatera, Indonesia, telah dialihfungsikan menjadi perkebunan tanaman komersial seperti perkebunan kelapa sawit dan karet. Hasil studi yang diterbitkan di jurnal Biogeosciences pada 2017 lalu menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan ini meningkatkan suhu di wilayah tersebut. Pemanasan tambahan dapat mempengaruhi tumbuhan dan hewan dan membuat wilayah Indonesia itu lebih rentan terhadap kebakaran hutan. Minyak sawit yang merupakan produk utama dari kelapa sawit adalah minyak nabati yang paling banyak digunakan di dunia, muncul dalam daftar bahan di banyak barang konsumen, mulai dari cokelat hingga sabun. Indonesia sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia telah membiarkan sebagian besar hutan hujannya ditebangi dan digantikan oleh perkebunan kelapa sawit dengan laju yang melebihi Brasil. Hasil studi yang dari sebuah tim peneliti internasional yang dipimpin oleh Clifton Sabajo dan Alexander Knohl dari University of Göttingen di Jerman ini, menemukan bahwa ekspansi kelapa sawit dan tanaman komersial lainnya di Sumatera telah membuat suhu di wilayah tersebut jadi lebih panas. Donny Fernando/National Geographic Indonesia Hilangnya keanekaragaman hayati akibat masifnya perkebunan sawit. Tak jarang memicu kekeringan dengan dampak akhir kebakaran hutan. Bila tidak diperhatikan, pemanasan suhu global kian tak terkendali. "Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi kebun tanaman komersial seperti perkebunan kelapa sawit dan karet tidak hanya berdampak pada keanekaragaman hayati dan cadangan karbon, tetapi juga memiliki efek pemanasan permukaan, menambah efek perubahan iklim," kata Knohl yang merupakan profesor di bidang bioklimatologi, seperti dilansir EurekAlert!. Tim peneliti mempelajari perbedaan suhu permukaan untuk berbagai jenis tutupan lahan, seperti hutan, lahan tebang habis, dan perkebunan tanaman komersial, di provinsi Jambi, Sumatera. Mereka menggunakan data satelit yang dikumpulkan antara tahun 2000 dan 2015 oleh Landsat NASA dan instrumen MODIS, serta data yang dikumpulkan di lapangan. Baca Juga Fakta yang Perlu Anda Tahu Seputar Jatuhnya Meteorit di Lampung Tengah Yunaidi Joepoet Api perlahan membakar hutan yang berbatasan langsung dengan perkebunan sawit di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Mereka menemukan bahwa pembukaan lahan tebang habis lebih hangat hingga 10 derajat Celsius daripada lahan perhutanan. "Lahan tebang habis adalah fase antara hutan dan jenis tutupan lahan lainnya, seperti perkebunan skala kecil [pertanian keluarga skala kecil] atau perkebunan komersial," ujar Sabajo, peneliti utama dalam studi ini yang kala itu masih merupakan mahasiswa PhD di University of Göttingen. Adapun suhu perkebunan kelapa sawit dewasa adalah sekitar 0,8 derajat Celsius lebih hangat dari pada hutan, sedangkan perkebunan kelapa sawit muda lebih hangat 6 derajat Celsius. “Perkebunan kelapa sawit muda memiliki daun yang lebih sedikit dan lebih kecil serta kanopi yang terbuka, sehingga menghasilkan lebih sedikit air. Selain itu, tanah menerima lebih banyak radiasi matahari dan lebih cepat kering,” jelas Sabajo. Sabajo mengatakan suhu permukaan di hutan lebih rendah daripada di perkebunan kelapa sawit dan pembukaan lahan terutama karena "pendinginan evaporatif", yang mirip dengan proses yang mendinginkan kita saat kita berkeringat. Ada lebih banyak penguapan dan transpirasi air dari tanaman dan tanah ke atmosfer di hutan daripada di lahan yang ditebang habis atau perkebunan kelapa sawit muda, yang berarti tanah lebih sejuk untuk jenis tutupan lahan tersebut. Baca Juga Lahan Gambut Tropis Tertua di Dunia Ditemukan di Pedalaman Kalimantan PROMOTED CONTENT Video Pilihan
alih fungsi hutan menjadi pertanian dan perkebunan banyak dijumpai di